Cerita ini dimulai ketika aku menerima ajakan temanku untuk menemaninya pangkas disalah satu salon disudut kota lhokseumawe, sembari menanti giliran, aku memandang ke sekeliling, suasana yang begitu nyaman, hiasan dinding yang indah, warna warni bunga dalam pot yang menyejukkan, dan… pandanganku terhenti pada sosok seseorang, wajahnya ayu, jarinya lentik, padahal aku tau betul kalau dia adalah seorang pria yang berperilaku wanita, orang-orang sering menyebutnya waria. dengan lihai ia memainkan kombinasi sisir dan gunting, diselingi dengan gelak canda dan ocehan-ocehan dalam bahasa yang sangat sulit kumengerti.
Setelah semua pelanggan pulang, aku memberanikan diri untuk mengajaknya bicara, aku ingin mengetahui kisah hidupnya yang menurutku menarik.
Awalnya sulit juga mengajaknya bicara, maklum.. bagi sebagian orang, hal yang tak lazim seperti ini masih dipandang aib, namun dengan usaha pendekatan, akhirnya kami dapat ngobrol panjang lebar, saat itulah kutau namanya alfin atau lebih dikenal dengan panggilan angel, usianya cukup muda, baru 18 tahun.
Menurut alfin, kondisi warianya telah ada sejak lahir, sebab kala ibunya mengandung, ibunya selalu mendambakan kelak bayi dalam kandungannya adalah wanita, namun Allah berhendak lain, bayi itu lahir dengan jenis kelamin pria yang bernama Alfin atau angel.
Kondisi ini diperparah dengan kehidupan sehari-hari alfin kecil yang selalu diperlakukan layaknya seorang wanita, sering dipakaikan rok, berbedak dan bergaul dengan wanita, hal ini terus dijalani alfin bahkan hingga usia sekolah dasar, sampai disini belum ada pemberontakan-pemberontakan. Pahitnya menjadi waria justru mulai dirasakan alfin saat duduk dibangku SMP, saat itu cemoohan dan ejekan teman sekolah seolah menjadi makanan sehari-hari, alfin tidak bisa berbuat apa-apa, sebab ia tidak ingin menyalahkan siapa-siapa atas kondisi tak lazimnya.
Sekarang, setelah tamat Sekolah Menengah Kejuruan, perlakuan-perlakuan yang tidak layakpun masih sering dia dapatkan. Namun untuk mengatasinya, alfin selalu menahan emosi, emosi yang hanya dimiliki seorang wanita, kelembutan dan kemaafan sambil terus menyibukkan diri bergelut dengan pekerjaannya sekarang sebagai pegawai salon. Alfin merasa dirinya sebagai seorang “wanita” ternyata bisa lebih kreativ dan bermanfaat bagi orang banyak. daripada menjadi pria, bisanya tawuran, nongkrong sana-sini dan meraung-raungkan sepeda motor seperti yang terlihat hampir disetiap sudut kota, itulah sebab kenapa hingga kini, alfin lebih memilih menjadi wanita ketimbang pria.
Sejenak kulihat alfin menghela nafas dengan berat, berusaha meredakan emosi yang tadi sempat meluap-luap. Diantara diamnya, aku kembali bertanya, inginkah ia kembali menjadi pria normal? Jawaban yang kuterima bukan sekedar anggukan biasa, tapi sebuah ungkapan perasaan yang membuatku berdecak kagum, bagaimana tidak, ternyata alfin yang baru berusia 18 tahun ini berharap suatu saat kelak, ia bisa menggunakan baju kemeja yang dipadukan dengan celana panjang berbahan katun, rapih layaknya karyawan kantoran, kemudian menikah, punya anak, dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai laki-laki bernama alfin bukan angel.
Recent Comments